Queen the Demented's blog

Selasa, 28 Juni 2011

Keluarga, Kunci Pembentukan Karakter Anak

Manusia modern penghuni kota-kota besar berharap sekolah dapat berperan membentuk karakter anak, selain berfungsi sebagai tempat manimba ilmu. Tapi, kunci pembentukan karakter dan fondasi pendidikan sejatinya adalah keluarga,dan peran sekolah hanya “pelaksana proyek”.Seiring berjalannya waktu, maka populasi, pengetahuan, dan kebudayaan manusia juga terus berkembang. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, setiap 15 menit sebanyak 15 bayi lahir di Inggris, 244 bayi di Tiongkok, dan 351 bayi di India. Namun, data lain mengungkapkan, sebanyak 16 ribu balita meninggal setiap hari akibat gizi buruk. Selain itu, sekitar 20% dari jumlah manusia di planet bumi sulit mendapatkan air bersih, dan 50% tidak terlayani sanitasi yang layak.
“Data-data itulah yang seharusnya disadari oleh setiap media pendidikan, khususnya sekolah, untuk menciptakan sumber daya yang lebih bermutu guna mengokomodasi segala perkembangan zaman,” ujar Brian Cox, principal of Sekolah Pelita Harapan dalam seminar pendidikan bertajuk A Refreshing Moment, Reflecting on Family and Education di Kemang Village, Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Menurut Brian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang juga dapat membantu para murid untuk mencari kebenaran, bukan hanya mengajarkan sesuatu yang mereka sukai. “Hal itu nantinya menyebabkan setiap anak tidak memiliki prinsip, melainkan hanya selera sesaat, sehingga hanya bisa membentuk mereka menjadi mahluk yang subjektif,” ujar pendidik yang sudah menggeluti dunia pendidikan selama 38 tahun itu.
Oleh karena itu, dalam memperoleh pengetahuan, diperlukan kebijaksanaan agar pengetahuan ini berguna bagi masyarakat. Agar setiap anak memiliki kebijaksanaan itu, dibutuhkan tiga elemen terpenting yang harus diajarkan oleh sekolah, yakni pengetahuan yang baik, berlandaskan keyakinan, dan berkarakter yang berkiblatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Brian menyebutkan, bila godly character sudah tertanam dengan baik dalam pribadi setiap anak, niscaya segala pendidikan yang telah dienyam dapat diaplikasikan dengan bijak. “Bijak adalah inti dari setiap pengetahuan, sehingga pengetahuan itu berguna bagi orang lain,” ujarnya.
Berdasarkan hasil riset Menteri Pendidikan Amerika Serikat (AS) Richard Riley, sekitar 10 jenis pekerjaan pada 2004 tidak akan ada lagi pada 2010. “Hal itupun dicermati oleh Universitas Pelita Harapan (UPH), caranya yakni menyiapkan para mahasiswanya untuk melakukan suatu pekerjaan yang saat ini belum ada,” ungkap Brian.
Selain membekali para murid dengan ilmu, menurut Brian, sekolah juga berguna membentuk murid menjadi bagian dari masyarakat yang baik, sehingga kualitas hidup yang baik dapat berkembang dalam masyarakat.
Fondasinya Tetap Keluarga
Hal menarik disampaikan oleh James T Riady, pendiri Yayasan Pendidikan Pelita Harapan. Terlepas dari penting dan besarnya peranan sekolah sebagai “pencetak” langsung sumber daya manusia (SDM), namun James tetap mengingatkan bahwa fondasi utama pendidikan adalah keluarga. “Sekolah itu hanya berfungsi sebagai kontraktor pendidikan dari rumah,” ujarnya.
Apa yang diajarkan di sekolah merupakan aplikasi dan pengembangan dari setiap pengetahuan dasar yang diperoleh dari rumah. Pembentukan karakter dan penanaman moral serta etika, harus sudah dilakukan sebelum si anak berangkat ke sekolah.
Menurut James, seharusnya para orangtua tidak bisa melepaskan atensi dan menyerahkan begitu saja si anak pada pihak sekolah, tanpa memperhatikan perkembangan pendidikannya. Komunikasi antara sekolah dan orangtua harus selalu dijaga. Itu dimaksudkan agar para orangtua juga mengetahui secara baik mengenai bakat sesungguhnya si anak.
James mengemukakan pengalaman pribadi keluarganya sebagai referensi dalam membentuk “identitas” generasi muda. Berdasarkan pengalamannya, orangtua harus memperhatikan perkembangan anak dari usia 8 sampai 12 tahun, karena masa penting pertumbuhan berada pada kisaran usia tersebut. Pada rentang usia tersebut anak dinilai masih polos sehingga rentan terkena pengaruh dari luar.
“Membentuk identitas anak itu seperti dua sisi koin. Apabila beban hidup sangat sedikit dan segalanya serba tersedia, hanya akan menjadikan anak seperti mesin uang. Sebaliknya bila beban terlalu banyak bisa menyebabkan anak frustasi,” ungkap James.
James mencontohkan itu pada masalah pengembangan bakat anak. Setiap anak memiliki bakat atau talentanya sendiri. “Banyak orangtua yang memarahi anaknya bila nilai matematikanya 6. Padahal, mereka (orangtua) tidak tahu, bahwa nilai itu adalah yang terbaik buat anaknya,” paparnya. Itulah salah satu contoh kasus para orangtua yang acapkali “menutup mata”, bahkan mungkin memang tidak mengetahui sama sekali akan kemampuan si anak. Di lain sisi, meski para orangtua tidak bisa memaksakannya, namun anak harus terus didorong untuk memaksimalkan potensinya. “Inilah keuntungan dari komunikasi yang harus selalu terjaga antara orangtua dan sekolah,” ujar James.
Mengirim anak belajar ke sekolah berkualitas di luar negeri, kerap pula menjadi pilihan banyak keluarga mapan. Di sini, para orangtua yakin bahwa sekolah di luar negeri tak hanya mengajarkan ilmu, namun turut membentuk karakter siswanya. Bagi James Riady, seharusnya para orangtua tak mudah silau dengan sekolah luar negeri. Makanya, para orangtua jangan tergesa-gesa menyekolahkan anaknya di luar negeri.
“Selain kini telah banyak sekolah lokal yang memenuhi standar internasional, si anak mungkin akan banyak menemui kendala ketika menuntut ilmu di negeri orang,” ujar James. Perbedaan gaya kehidupan dan parameter norma kesopanan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur, merupakan salah satu contoh kendala.
Agus T, salah satu orangtua, sependapat dengan James. Agus menyoroti sisi pengawasan yang minim, dan itu menjadi alasan utama mengapa dia enggan menyekolahkan anaknya ke luar negeri, “Kalau sekolah di sini (dalam negeri), kan gampang saya mengawasi anak,” ujarnya.
“Seminar A Refreshing Moment, Reflecting on Family and Education ini bagus sekali. Terlebih lagi, pemaparan Pak James Riady mengenai keluarga sebagai fondasi utama pendidikan anak,” ujar Irwan, bapak dengan dua anak yang berdomisili di Jakarta ini.
Kendati Irwan tak memungkiri bahwa kualitas sekolah di luar negeri lebih baik bila dibandingkan sekolah di Indonesia, namun dia mengaku keberatan untuk melepas anak-anaknya untuk bersekolah di luar negeri. “Mungkin nanti, ketika mereka melanjutkan pendidikan ke universitas, baru saya kirim ke luar negeri,” ujarnya.
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof Melly Sri Sulastri Rifai juga menekankan, bahwa kunci keberhasilan pembentukan karakter seorang anak terletak pada keluarga, sebab keluarga menjadi wadah pembentukan karakter yang utama dan pertama. “Semua orang harusnya menyadari hal itu,” ujarnya.
Kendati ada sekolah dan lingkungan masyarakat yang turut membentuk kepribadian seseorang, kunci utamanya tetap terletak pada orangtua. Pasalnya, orangtua bukan hanya mendidik anak sewaktu kecil, tetapi sampai mereka dewasa. Masalahnya, bagaimana setiap keluarga mampu melaksanakan tugas itu dengan maksimal.
Model Pembentukan Karakter
Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation (IHF) Ratna Megawangi mencermati, pendidikan budi pekerti yang selama ini diberikan pada siswa-siswi, baik melalui pelajaran agama dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP), tidak berhasil, kalau tidak ingin dikatakan gagal total. Kendati pelajaran-pelajaran itu isinya bagus, sayangnya itu tidak membekas ke dalam perilaku manusianya.
Menurut Ratna, menjadi manusia yang berkarakter butuh proses yang tidak sebentar. Jadi, tidak cukup hanya melalui pelajaran di sekolah, atau pergaulan di rumah.
Ratna mengaku miris melihat buruknya kondisi moral masyarakat pada awal reformasi tahun 1998. Pasca kerusuhan 1997/1998, bangsa Indonesia penuh diliputi amarah, dendam, caci maki, dan rasa curiga. Ia meyakini ada yang salah dengan sistem pendidikan yang selama ini diterapkan di negeri ini. Sistem pendidikan nasional telah gagal menanamkan karakter yang baik bagi siswa-siswi.
Secara spesifik, Ratna menyebut tiga unsur yang harus dilakukan dalam model pendidikan karakter. Pertama, Knowing the good. Untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekadar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal itu. ‘Selama ini mereka tahunya mana yang baik dan buruk, namun mereka tidak tahu alasannya,” ungkap Ratna.
Kedua, Feeling the good. Konsep ini mencoba membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan perbuatan baik. Di sini anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan baik yang dia lakukan. Jika Feeling the good sudah tertanam, itu akan menjadi “mesin” atau kekuatan luar biasa dari dalam diri seseorang untuk melakukan kebaikan atau menghindarkan perbuatan negatif.
Ketiga, Acting the good. Pada tahap ini, anak dilatih untuk berbuat mulia. Tanpa melakukan apa yang sudah diketahui atau dirasakan oleh seseorang, tidak akan ada artinya. Selama ini hanya imbauan saja, padahal berbuat sesuatu yang baik itu harus dilatih, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Menurut Ratna, ketiga faktor tersebut harus dilatih secara terus menerus hingga menjadi kebiasaan. Jadi, konsep yang dibangun, adalah habit of the mind, habit of the heart, dan habit of the hands.
Karakter menjadi kunci utama sebuah bangsa untuk bisa maju. Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam, tidak akan maju jika sumber daya manusia (SDM) tidak berkarakter, tidak jujur, tidak bertanggungjawab, tidak mandiri, serta tidak jujur.
Pendidikan merupakan sebuah kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat tindakan edukatif dan didaktis yang diperuntukkan bagi generasi yang bertumbuh. Dalam kegiatan mendidik, manusia menghayati adanya tujuan-tujuan pendidikan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda